BUNGA YANG TERPETIK

tetes peluh, tetes darah sematkan janji pada langkah tertancap jauh sesalkan cara air mata yang teralir hadirkan mimpi yang kelam janji yang terucap tak mampu tenangkan lara pun ciptakan damai nanti, ketika regam jari tak lagi kosong lihatlah hadir ku bergerombong sunggingkan senyum nyalakan lorong lorong

SEGALA RASA TENTANG APA YANG ADA

Kegudahan mungkin adalah sebuah fakta nyata yang wajar. Wajar? Ya, setidaknya buatku. Nyata? Ya, karena sesuatu yang terjadi dan kemudian mengakibatkan sesuatu adalah hal yang nyata. Fakta? Mungkin, karena hingga kini ku sulit membedakan antara fakta dan kebohongan. Entah telah berapa helaan nafas sudah ku telah menipu diri. Merelakan aku yang selama ini begitu aku terlena pada kebohongan yang kuciptakan sendiri.

Kebohongan itu mungkin reaksi ku pada diri, situasi dan kondisi. Kondisi yang kuciptakan sendiri, situasi yang kulibatkan diri di dalamnya, diri yang terbodoh. Tak ku lepaskan tiap kesemrautan yang ku ciptakan. Semuanya ku simpan dan ku jaga. Seolah-olah ia adalah harta karun emas buatku, dan hanya bagiku. Bahkan ku menanamnya, agar tumbuh menjadi kemelut-kemelut baru. Lalu ku bangga tersesat di dalamnya.

Kemelut yang nyata bagiku adalah aku hidup, aku ada, aku nyata. Begitu nyata, hingga berhasil menampar setiap keindahan. Sangat ada, hingga mampu menundukkan kebenaran. Begitu hidup, hingga telah mematikan jiwa dan nurani ku. Nurani yang mungkin dulu pernah hidup dan berkreasi menuliskan ma'rifatnya dihatiku. Dan akhirnya memutuskan untuk bertarung melawan kejiku. Memenangkan kebencian pada rupa dunia.

Kebencian adalah rasa beku untuk selalu merusak, dan membunuh. Membunuh kebenaran agar tak bermain di otak ku. Merusak hati, agar selalu menertawakan kebodohanku.
Setelah tak ada redam, mengapa tak kaurajam saja hati ini??!!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

SAJAK PENUTUP

LANGKAH (2)